Seringkali kita merasa apa yang kita lakukan adalah hal yang baik pada saat itu, tetapi kita tak menyadari hal itu akan membawa keburukan di waktu nanti
Hari ini saya mendapat sebuah email dari seorang sahabat yang pasti mengetahui kalau saya belum menjadi seorang yang bijak, makanya ia mengirimi, sebuah cerita untuk membuka kebijaksanaanku.
Sebuah cerita:
PERTAPA DAN KEPITING
Suatu ketika terdapatlah seorang pertapa muda yang sedang bermeditasi dibawa pohon yang teduh dipinggir sungai. Saat sedang konsentrasi tiba-tiba perhatiannya terpecah dengan suara yang berisik. Kemudian ia membuka matanya untuk melihat apa yang terjadi.
Ternyata suara yang ditimbulkan oleh seekor kepiting yang sedang berusaha keras untuk mencapai tepian sungai dengan melawan arus. Karena merasa kasihan, pertapa itu mengulurkan tangannya untuk menolong. Seketika keriting itu dengan sigap menjepit tangan pertapa itu. Meskipun jarinya terluka karena jepitan kepiting, tetapi hati pertapa itu puas karena telah menyelamatkan si kepiting .
Belum lama bersila untuk melanjutkan meditasinya terdengar lagi suara yang sama dari tepi sungai , ternyata keriting itu mengalami kejadian yang sama. Kemudian pertapa itu kembali menggunakan cara yang sama untuk menolong kepiting itu, yang menyebabkan jari-jarinya terluka dan semakin membengkak.
Melihat kejadian ini, ada seorang tua yang kemudian datang dan menegur si pertapa muda itu, “Anak muda, perbuatanmu menolong adalah cerminan hati yang baik. Tetapi , mengapa demi menolong seekor kepiting engkau membiarkan capit kepiting melukai jarimu hingga sobek dan bengkak?”
Pertapa itu mencoba menjelaskan, “Paman, seekor kepiting memang menggunakan capitnya untuk memegang benda dan saya sedang melatih mengembangkan rasa belas kasih. Oleh sebab itu saya tidak mempermasalahkan jari tangan ini terluka, asalkan bisa menolong nyawa makhluk lain, saya sudah senang! “
Mendengar jawaban pertapa itu, kemudian orang tua itu mengambil ranting, lalu dijulurkan kearah kepiting yang terlihat sedang melawan arus. Segera si kepiting menangkap ranting itu dengan capitnya. “Lihat anak muda, melatih mengembangkan sikap belas kasih memang baik, tetapi harus pula disertai dengan kebijaksanaan. Bila tujuan kita baik, untuk menolong makhluk lain, bukankah tidak harus dengan mengorbankan diri sendiri. Ranting pun kita bisa manfaatkan, bukan begitu?” Kata-kata arif itu keluar dari mulut sang orang tua.
Seketika itu juga pertapa itu tersadarkan. Dalam hidup ini, banyak hal baik yang kita lakukan, tetapi tidak diiringi dengan kebijaksanaan, namun hanya menggunakan pemikiran dan kepintaran sendiri saja.
Seumpama saat anak kita bersalah, kita memarahi dan memukulnya dengan alasan sebagai wujud sayang dan untuk kebaikannya agar tidak mengulangi perbuatannya. Tetapi yang ada, selanjutnya anak itu malah semakin nakal. Karena kemarahan dan pukulan bukanlah jalan yang terbaik.
Seperti juga kita selalu mengikuti keinginan anak, apapun sampai yang tidak perlu kalau diminta pasti dibelikan, sekali lagi karena sayang. Tapi tanpa sadar kita telah mencelakakannya menjadi anak yang akan selalu memaksakan keinginannya. Selanjutnya itu akan terbawa sampai ia dewasa.
Begitu juga, soal denda bagi yang bersedekah kepada anak jalanan di Jakarta. Memang kelihatan aturannya kejam , tapi kalau direnungkan, bila kita selalu memberi dan memberi pada mereka, selamanya mereka akan jadi peminta-minta. Bukankah kita turut bersalah juga? Ada kata bijak mengatakan, orang bijak itu terlihat kejam, tapi hatinya sungguh lembut. Karena yang ia lakukan adalah semata untuk kebajikan.
Jadi intinya, jangan hanya menggunakan pemikiran dalam setiap hal yang kita kulakan, tapi pertimbangkan dengan kebijaksanaan, mungkin pada waktu itu kita akan tidak disenangi, tapi pada akhirnya nanti mereka pasti akan mengerti dan berterimakasih.
Hari ini saya mendapat sebuah email dari seorang sahabat yang pasti mengetahui kalau saya belum menjadi seorang yang bijak, makanya ia mengirimi, sebuah cerita untuk membuka kebijaksanaanku.
Sebuah cerita:
PERTAPA DAN KEPITING
Suatu ketika terdapatlah seorang pertapa muda yang sedang bermeditasi dibawa pohon yang teduh dipinggir sungai. Saat sedang konsentrasi tiba-tiba perhatiannya terpecah dengan suara yang berisik. Kemudian ia membuka matanya untuk melihat apa yang terjadi.
Ternyata suara yang ditimbulkan oleh seekor kepiting yang sedang berusaha keras untuk mencapai tepian sungai dengan melawan arus. Karena merasa kasihan, pertapa itu mengulurkan tangannya untuk menolong. Seketika keriting itu dengan sigap menjepit tangan pertapa itu. Meskipun jarinya terluka karena jepitan kepiting, tetapi hati pertapa itu puas karena telah menyelamatkan si kepiting .
Belum lama bersila untuk melanjutkan meditasinya terdengar lagi suara yang sama dari tepi sungai , ternyata keriting itu mengalami kejadian yang sama. Kemudian pertapa itu kembali menggunakan cara yang sama untuk menolong kepiting itu, yang menyebabkan jari-jarinya terluka dan semakin membengkak.
Melihat kejadian ini, ada seorang tua yang kemudian datang dan menegur si pertapa muda itu, “Anak muda, perbuatanmu menolong adalah cerminan hati yang baik. Tetapi , mengapa demi menolong seekor kepiting engkau membiarkan capit kepiting melukai jarimu hingga sobek dan bengkak?”
Pertapa itu mencoba menjelaskan, “Paman, seekor kepiting memang menggunakan capitnya untuk memegang benda dan saya sedang melatih mengembangkan rasa belas kasih. Oleh sebab itu saya tidak mempermasalahkan jari tangan ini terluka, asalkan bisa menolong nyawa makhluk lain, saya sudah senang! “
Mendengar jawaban pertapa itu, kemudian orang tua itu mengambil ranting, lalu dijulurkan kearah kepiting yang terlihat sedang melawan arus. Segera si kepiting menangkap ranting itu dengan capitnya. “Lihat anak muda, melatih mengembangkan sikap belas kasih memang baik, tetapi harus pula disertai dengan kebijaksanaan. Bila tujuan kita baik, untuk menolong makhluk lain, bukankah tidak harus dengan mengorbankan diri sendiri. Ranting pun kita bisa manfaatkan, bukan begitu?” Kata-kata arif itu keluar dari mulut sang orang tua.
Seketika itu juga pertapa itu tersadarkan. Dalam hidup ini, banyak hal baik yang kita lakukan, tetapi tidak diiringi dengan kebijaksanaan, namun hanya menggunakan pemikiran dan kepintaran sendiri saja.
Seumpama saat anak kita bersalah, kita memarahi dan memukulnya dengan alasan sebagai wujud sayang dan untuk kebaikannya agar tidak mengulangi perbuatannya. Tetapi yang ada, selanjutnya anak itu malah semakin nakal. Karena kemarahan dan pukulan bukanlah jalan yang terbaik.
Seperti juga kita selalu mengikuti keinginan anak, apapun sampai yang tidak perlu kalau diminta pasti dibelikan, sekali lagi karena sayang. Tapi tanpa sadar kita telah mencelakakannya menjadi anak yang akan selalu memaksakan keinginannya. Selanjutnya itu akan terbawa sampai ia dewasa.
Begitu juga, soal denda bagi yang bersedekah kepada anak jalanan di Jakarta. Memang kelihatan aturannya kejam , tapi kalau direnungkan, bila kita selalu memberi dan memberi pada mereka, selamanya mereka akan jadi peminta-minta. Bukankah kita turut bersalah juga? Ada kata bijak mengatakan, orang bijak itu terlihat kejam, tapi hatinya sungguh lembut. Karena yang ia lakukan adalah semata untuk kebajikan.
Jadi intinya, jangan hanya menggunakan pemikiran dalam setiap hal yang kita kulakan, tapi pertimbangkan dengan kebijaksanaan, mungkin pada waktu itu kita akan tidak disenangi, tapi pada akhirnya nanti mereka pasti akan mengerti dan berterimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar